Simalungun — Dalam beberapa waktu terakhir banyak terjadi konflik masyarakat adat dengan pemerintah maupun dengan aparat hukum yang terjadi di berbagai daerah, namun DPR sampai saat ini belum juga mensahkan RUU Masyarakat Hukum Adat , padahal RUU MHA telah lama masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) DPR-RI.
Begitu juga dengan daerah Sumatera Utara, lebih tepatnya di Kabupaten Simalungun. Konflik masyarakat adat masih saja terjadi hingga pada hari ini. Diantaranya adalah konflik antara masyarakat adat Lembaga Adat Keturunan Oppung Mamontang Laut Sihaporas (Lamtoras) dengan pihak PT. TPL yang bahkan sudah terjadi sejak tahun1998.
Seiring berjalannya waktu, konflik terjadi lagi antara masyarakat adat Lamtoras dengan pihak TPL dan melibatkan pihak Polsek Sidamanik hingga Polres Simalungun. Tanggal 14 Juli 2022 menjadi awal mulanya konflik, yang bermula dari mitra PT TPL yang bernama Samuel Sinaga memberhentikan 2 orang pemuda masyarakat Sihaporas yang hendak kembali ke kampung mereka selepas dari Kota Pematang Siantar yang mengambil bibit pohon untuk ditanam di wilayah adat mereka. Samuel memberhentikan 2 pemuda masyarakat sihaporas dengan wajah yang marah serta memaki-maki dan menuduh masyarakat membakar lahan atau pohon ekaliptus, menuduh masyarakat menabur ranjau sehinggah membuat ban mobil PT. TPL bocor, dan Samuel juga menyampaikan bahwa tidak ada tanah oppung (leluhur) kalian di kampung ini.
Hal tersebut lantas mengundang amarah dari masyarakat, dikarenakan pernyataan Samuel tersebut telah menyakiti hati mereka. Setelah peristiwa di atas, masyarakat meminta Samuel Sinaga agar segera mengklarifikasi dan menyampaikan permohonan maafnya kepada masyarakat, namun hal tersebut sampai saat ini tidak mendapat tanggapan dari Samuel Sinaga. Melihat Konflik yang terjadi tersebut, AMMA (Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Adat yang terdiri dari beberapa organisasi kembali menyampaiakan sikapnya atas kejadian tersebut.
Edis Galingging, selaku Ketua Presidium PMKRI Cabang Pematangsiantar menyampaikan, “konflik yang telah berkepanjangan ini haruslah mendapat respon cepat dari semua pihak. Konflik telah lama terjadi, tapi pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif yang ada di Kabupaten Simalungun masih menutup mata seolah-olah tidak terjadi apa-apa, ucapnya.
Juwita Theresia Panjaitan, selaku Ketua GMKI Cabang Pematangsiantar-Simalungun turut menambahkan, konflik yang telah berkepanjangan ini telah menjadi kewajiban kepala daerah, yakni Bupati Simalungun wajib menjamin keberadaan dan kesejahteraan masyarakat.
Lebih lanjut, Roganda Simanjuntak, ketua AMAN Tano Batak juga menyampaikan bahwa piak kepolisian harus segera menghentikan segala bentuk kekerasan dan intimidasi kepada masyarakat adat Lamtoras, pungkasnya.
Sementara itu perwakilan dari masyarakat adat LAMTORAS saudara Tomson Ambarita menyampaikan, “bahwa masyarakat sudah lelah terus menerus dikriminilasisasi sehingga berharap bahwa ada sedikit kebaikan dari pemerintah terhadap masyarakat agar tidak ditindas terus menerus oleh PT. TPL, tutupnya.
Atas peristiwa di atas dan konflik yang telah berkepanjangan, kami dari Aliansi Mahasiswa dan masyarakat Adat (AMMA) memberikan poin tuntutan, yaitu:
1. Mendesak Polres Simalungun agar lebih bersikap humanis dalam proses penyelesaian konflik PT. TPL dan masyarakat.
2. Mendesak DPRD Kabupaten Simalungun agar segera mungkin membuat perda masyarakat adat di Kabupaten Simalungun.
3.Meminta Bupati Simalungun agar segera membentuk Tim Identifikasi masyarakt adat di kabupaten Simalungun agar dapat menerbitkan SK Masyarakat Adat.
4. Mendesak pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan klaim areal konsesi PT Toba Pulp Lestari dari wilayah adat Lamtoras-Sihaporas dan wilayah Adat Dolok Parmonangan. (Res)
0 Komentar