Rudi Samosir Penggiat Demokrasi Alumni Magister Fisip USU 2015 |
Penulis : Rudi Samosir
Tarunaglobalnews.com, —Pemilihan Umum 2024 sungguh menarik untuk dibahas, selain penuh keunikan pemilu 2024 ini dipenuhi sosok yang dulu saling serang kekurangan kini menjadi menjadi teman sejalan. Sebab, kini mereka yang berlawanan telah menjadi kawan.
Di sisi lain, Jokowi yang dulu didukung partai besutan Putri Soekarno, kini Jokowi mempertontonkan bahwa dia bukan lagi bagian dari perjuangan bersama partai tersebut. Ditambah bahwa anaknya kini disandingkan mendampingi calon presiden yang dulu menjadi lawan beberapa kali dan juga habis dia serang saat debat yang di Fasilitasi oleh KPU. Dan sekarang secara verbal dia justru membingkai agar calon tersebut dimenangkan sebab ada anaknya di Lingkaran tersebut.
Berbagai upaya secara tidak langsung sudah diperankan, dari merubah aturan. Di Mahkamah Konstitusi, hingga berdampak di Copotnya Ketua MK setelah melalui proses sidang Etik bahwa putusan. Nomor 90 dalam hal menjadi ticket majunya Gibran ke Cawapres dianggap melanggar Etik. Namun keputusan MK bersifat final sehingga keputusan tetap tidak dapat di rubah. Namun secara gamblang Lembaga Tinggi telah mempertontonkan secuil kecurangan kepada 240 an juta rakyat Indonesia.
Setiap pasangan saat ini memiliki akses di pemerintahan, sebab ketiga capres dan cawapres memang dulunya adalah bagian dari koalisi pemerintahan Joko Widodo. Namun dalam pemilu 2024 mereka menyatakan sikap berbeda koalisi.
Berbagai dugaan dugaan pelanggaran dan kecurangan mulai bermunculan, dari pemasangan baliho yang diduga oleh perangkat negara, pengarahan oleh oknum tertentu dalam perangkat desa, pemanfaatan fasilitas negara, keterlibatan penyelenggara pemilu hingga saat ini yang sedang santer adalah pernyataan kapolri dan beberapa ditemukan ada foto salah satu capres di pasang dengan aparat keamanan negara di salah satu wilayah.
Hal ini menimbulkan polemik di antara pro dan Kontra dalam kontestasi. Dalam sejarah memang siapa berkuasa tidak akan terlepas dari penggunaan perangkat kekuasaan yang ada.
Namun, paskah rezim otoriter orde Baru 1998 memang hal ini perlahan terjadi perubahan walau tidak signifikan, ditambah lagi setelah SBY. dan Masuknya Jokowi menjadi presiden memudarkan stigma kalangan tertentu saja yang dapat menjadi Presiden.
Artinya pemanfaatan kekuasaan tanpa sosok yang popular ternyata tidak menentukan sebagai pemenang. Sebab masa masuknya Jokowi partai pengusung bukan lah bagian dari pemerintahan.
Yang terjadi saat ini dimasa pengunjung Presiden Jokowi justru kelemahan masa orde Baru mulai muncul dalam pemanfaatan kekuasaan. Apalagi penggunaan aparatur keamanan ataupun Pertahanan Negara.
Dalam sejarah demokrasi Indonesia sepertinya Pengebirian Hak Prajurit menjadi persoalan sehingga oknum APH terkadang berada pada jalan sulit. Sebab di satu sisi mereka di tuntut netral tidak Berpolitik namun, dibelakang mereka diduga terlibat juga dalam politik.
Jika Penulis tidak salah bahwa pengusulan Hak suara TNI/Polri sudah pernah dicetuskan. Oleh beberapa partai politik di Indonesia namun hal itu tertunda sebab ketidak siapan TNI/Polri untuk itu.
Beberapa negara maju sudah lama menerapkan aparat keamanan mereka memiliki Hak suara. Salah satu contoh negara tetangga Malaysia sudah menerapkan itu. Mereka memperbolehkan Polisi dan Militer memilih satu atau dua hari dilakukan sebelum rakyat Sipil Memilih. Hanya saja mereka tidak boleh menjadi bagian dari Tim Sosialisasi atau kampanye dari paslon tertentu.
Pemilu khusus mereka juga dilakukan di instansi tersebut dan mengkhususkan hari buat mereka. Hal itu berjalan baik. Sehingga pola pikir. Politik mereka juga maju. Dibuktikan negaranya saat ini lebih maju dibandingkan Indonesia.
Hemat Penulis, ini menjadi referensi untuk kemajuan negara Indonesia, sebab polemik dengan slogan netralitas dan tidak Berpolitik kini menjadi syarat dan simbol semata. Faktanya terjadi upaya kerja politik untuk memenangkan paslon tertentu.
Harapan ke depan gagasan TNI/Polri diberikan hal suara itu dibuka kembali untuk mendewasakan demokrasi Indonesia dan mendewasakan politik TNI/Polri sehingga tidak lagi menjadi komoditas saja. Hanya regulasi dan referensi negara yang sudah menerapkan menjadi acuan demi kejayaan demokrasi Indonesia. (*)
0 Komentar