Muhammad Gufron Rum Peneliti dari Nusantara Foundation dan Mahasiswa program Magister pada Departemen Politik dan Pemerintahan UGM |
Penulis : Muhammad Gufron Rum
Tarunaglobalnews.com — Langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengusulkan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024 baru-baru ini menjadi pusat perhatian berbagai kalangan. Beberapa di antaranya merespons keras dari aspek legal, sementara yang lain melihatnya dari spektrum sosial-politik.
Menurut saya, jika dilihat dari kacamata politik, manuver yang dilakukan DPR ini bukanlah sebuah respons spontan, melainkan manuver alternatif yang telah direncanakan dengan matang. Hal itu terlihat dari cepatnya DPR dalam melakukan respons dan langkah tindak lanjut kurang dari 24 jam setelah munculnya putusan MK. Sehingga, yang terbayangkan pertama kali adalah seolah-olah legislatif sudah mempersiapkan skenario alternatif bila putusan MK dianggap tidak menguntungkan.
Lebih lanjut, revisi ini tampaknya lebih sebagai upaya mengakomodasi kepentingan politik kelompok tertentu daripada memperkuat fondasi hukum yang adil dan stabil sebagaimana yang dinarasikan. Dari perspektif politik, ini adalah tindakan yang bisa dianggap sebagai bentuk tidak etis dari politik (sebagai upaya berbagai pihak untuk mencapai kebaikan bersama) terhadap hukum yang semestinya menjadi instrumen dalam demokrasi. Dari kacamata perilaku politik, Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama Pemerintah (diwakili Mendagri dan Menkumham) yang turut hadir dan menyetujui hasil rapat DPR dalam upaya memodifikasi peraturan perundangan untuk kepentingan tertentu melalui pengaruh politiknya, yang pada akhirnya merongrong stabilitas hukum.
Dampak dari manuver ini tidak bisa diremehkan, terutama dalam konteks pemerintah sedang berusaha membangun Ibu Kota Nusantara (IKN). Indonesia justru bisa terperangkap dalam persepsi negatif di mata internasional jika revisi UU Pilkada ini terus didorong. Kesan bahwa hukum dapat diubah sesuai dengan selera penguasa melalui pengaruh politiknya akan menjadi ancaman nyata terhadap upaya menarik investasi asing yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan IKN. Sementara semua investor sangat membutuhkan kepastian hukum dan kondisi politik yang stabil, dua hal yang terancam jika hukum berubah sebatas untuk kepentingan sesaat menjadikan kesan legislator dan pemerintah Indonesia tidak memahami karakter investor global.
Manuver ini justru menjadi bumerang, terutama bagi proyek besar seperti IKN berpotensi tidak diminati oleh investor asing karena keraguan atas stabilitas hukum di Indonesia. Disisi lain juga memerlukan dukungan penuh dari semua pihak guna mencapai keberhasilan proyek tersebut. DPR dan Pemerintah seharusnya mempertimbangkan dengan matang dampak jangka pendek dan panjang dari upaya revisi ini, bukan hanya untuk menjaga demokrasi saja, tetapi juga untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional tetap terjaga salah satu indikatornya adalah proyek strategis nasional pembangunan IKN dapat berjalan baik berkat suksesnya menarik investasi swasta khususnya dari luar negeri.
Revisi UU Pilkada ini tidak hanya sekadar soal ambang batas syarat pencalonan, tetapi tentang menavigasi politik untuk cita-cita Pancasila. Selain itu, masa depan dunia yang tidak pasti pun seharusnya dihadapi dengan cara menempatkan politik dalam negeri sebagai landasan untuk membentuk hukum yang imparsial. Sehingga, baik legislatif maupun ekskutif seyogyanya memiliki pemikiran yang cerdas dan mendasar atas tindakan dan langkah yang diambil. (*)
0 Komentar