Breaking News

6/recent/ticker-posts

Kritik Terhadap Tunjangan Perumahan DPR : Bagaimana Etika Politik Berperan?

Foto animasi (sumber Ist)

Penulis | M. G. Rum Head of Research and Development – Nusantara Foundation, Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada

Tarunaglobalnews.com Jakarta — Keputusan untuk mengganti rumah jabatan DPR dengan tunjangan perumahan telah memicu perdebatan tajam di ruang publik. Dalam kacamata etika politik, kebijakan ini harus diuji melalui prisma moralitas publik, yakni keseimbangan antara konsep dasar moral dan potensi penyalahgunaan kekuasaan.

Justifikasi bahwa rumah dinas lama tidak representatif mungkin masuk akal, namun pemberian tunjangan yang menambah “take home pay” anggota DPR tetap menimbulkan pertanyaan etis. Apalagi, dalam periode sebelumnya, terdapat politisi yang mendukung pengurangan gaji pegawai negeri . Hal ini menunjukkan ketidak konsisten kebijakan yang justru meningkatkan fasilitas bagi anggota DPR, sementara mereka pernah mengusulkan pengurangan gaji di sektor lain. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apakah pemberian tunjangan kepada anggota DPR yang sudah menikmati berbagai privilese lainnya merupakan bentuk efisiensi anggaran atau hanya sekadar memindahkan beban finansial wakil rakyat kepada rakyat dengan cara yang institusional?

Dalam politik, istilah homo homini lupus est (Hobbes, 1651; Plautus, 195 SM) memberi gambaran penting dalam konteks ini. State by nature (atau keadaan sebelum ada negara) menjadi refleksi konsep instingtif predator serigala yang bahkan memangsa sesamanya. Pun halnya dapat kita refleksikan dalam konteks politik. Saat ini, ada kecenderungan politisi memaksimalkan keuntungan pribadi dalam setiap celah kebijakan. Dengan adanya berbagai tunjangan yang sama sekali tidak transparan dan minim pengawasan, potensi untuk menyalahgunakan tunjangan menjadi sangat besar. Hal ini semakin menegaskan ketidakseimbangan antara hak-hak pejabat dan kepentingan publik yang lebih luas.

 

Apakah etis jika wakil rakyat, yang dikatakan mewakili kepentingan rakyat biasa—yang sebagian besar hanya berpenghasilan UMP/UMR—justru menerima pendapatan yang jauh lebih mewah daripada mereka? Pemberian tunjangan besar kepada elite politik terkesan tidak sensitif terhadap kondisi masyarakat. Alih-alih menunjukkan keteladanan dan penghematan anggaran negara, kebijakan ini dapat memperkuat citra negatif politisi sebagai "predator" yang lebih peduli pada keuntungan pribadi ketimbang wacana Pancasila yang dijanjikan saat dilantik.

Sangat penting bahwa politisi tidak hanya menggunakan alasan efisiensi untuk menghindari kritik lebih lanjut. Efisiensi tanpa transparansi dan akuntabilitas adalah retorika kosong yang bisa berujung pada penyalahgunaan wewenang. Kebijakan ini juga perlu dievaluasi dari segi dampaknya terhadap kepercayaan publik. Dalam konteks politik yang semakin sinis, kebijakan semacam ini justru mempertegas jarak antara rakyat dan wakil mereka. Terlepas dari klaim penghematan, kebijakan yang memberikan tunjangan besar tanpa justifikasi yang jelas hanya akan memperdalam skeptisisme masyarakat terhadap DPR dan politisi secara umum.

Kesimpulannya, tanpa adanya transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan ketat, kebijakan penggantian rumah jabatan dengan tunjangan hanya akan memperkuat gagasan predator politik. DPR perlu ingat bahwa tugas mereka adalah melayani rakyat, bukan memanfaatkan posisi untuk keuntungan pribadi. Inilah saatnya bagi wakil rakyat menunjukkan komitmen mereka pada etika politik dan integritas moral, bukan sekadar pada justifikasi efisiensi yang menutupi kepentingan pribadi. (*)

Posting Komentar

0 Komentar